Saturday, May 18, 2013

Sultan Tak Beristana


DALAM  catatan minggu ini, saya mengingatkan tragedi Sultan Aceh yang terakhir. Kisah Sultan Aceh memang banyak dikupas yang indah dan kemegahan yang melingkupi mereka. Ketika Sultan Aceh terakhir ini menghadapi penjajah Belanda, hidupnya sangat menderita. Ini tentu berbeda dengan raja-raja lain di Nusantara yang mengakui keberadaan penjajah kolonial. Mereka menerima kemegahan dan status sosial dari keturunannya. Terkait raja Aceh, kehidupan mereka jarang diangkat apalagi menjadi bahan diskusi kebudayaan Aceh.Ketika agresi kedua Belanda (Desember 1873) dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten berusaha membujuk Sultan  bersedia mengikat perdamaian dengan Belanda. Surat itu diantar oleh kurir Belanda yakni Mas Soemo Widikdjo pada 23 Desember 1873 bersama empat pengiringnya. Sultan tidak mengacuhkan tawaran itu dan memerintahkan kepada pasukan dan rakyat supaya memperhebat perlawanan di mana-mana. Membela tiap jengkal tanah dengan pengorbanan yang betapapun besarnya (Talsya:1981:38).
Prinsip orang nomor satu Aceh ini tidak mau melakukan perdamaian. Baginya, perdamaian mengakui keberadaan penjajah di tanah airnya. Damai berarti mengaku kalah. Akibatnya, Van Swienten terus mendesak ke istana dan memaksa Sultan Alaidin Mahmudsyah  (1870-1874) menyerah dan tunduk kepada Belanda.. Pada 24 Januari 1874, pukul  12 siang, Van Swieten masuk ke istana dengan harapan Sultan Alaidin Mahmudsyah ada di sana dan memaksa penyerahan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Tetapi Sultan Alaidin Mahmudsyah pada pagi telah mengungsi ke Lueng Bata dengan membiarkan istana kosong.
Artinya, secara simbolik, Sultan tetap menganggap mati adalah kalah. Jika istana diduduki, itu artinya belum dapat ditaklukkan. 
Letnan Jenderal Van Swieten marah besar gagal menangkap Sultan Alaidin dan gagal juga rencana memaksa Sultan  menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Walaupun mereka menduduki istana, tetapi  simbol tertinggi kerajaan yaitu raja tidak ditemukan. Akhirnya  Van Swieten, sebagaimana tradisi perang di Eropa, merampas seluruh harta kekayaan Sultan termasuk istana yang ditinggalkannya dan  mengumumkan kepada internasional bahwa  “Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang (humaniter) menjadi hak-milik Kerajaan Belanda”. Demikian pula, seluruh kekayaan pribadi dan asset istana dirampas dan dijadikan milik  pemerintah Belanda sesuai dengan asas hukum perang Recht van Over Winning  (H.C. Zentgraaff:1981 ).
Bekas istana ini dan aset pribadi Sultan selanjutnya dikuasai oleh KNIL alias serdadu Belanda seperti wilayah Kuta Alam, Neusu, Kraton dan lain-lain hingga di seluruh  Aceh. Karena itu, tidak mengejutkan jika Kraton Aceh sekarang tidak lagi menampakkan keasliannya karena sejak awal sudak dikuasai oleh militer dari colonial Belanda hingga Indonesia mardeka. Dalam peperangan ini, Van Swieten tetap mengakui kehebatan orang Aceh  seperti yang dia tulis dalam sepucuk surat kepada sahabatnya “Wij hebben te Atjeh te doen met een volk niet alleen dapper en oorlogzuchtig is dat nimmer door een ander volk overheerscht is geworden, maar ook van oudsher den roem van een krijgshaftig volk heft verworpen”, (kita berhadapan di Aceh dengan orang-orang yang tidak saja berani dan mempunyai nafsu perang dan tidak pernah dijajah, tetapi juga kita berhadapan dengan rakyat yang semenjak bahari sungguh tangkas berperang) (Paul Van Vier:1981).
Setelah istana  dikuasai Belanda dan Sultan Alaidin mangkat bukan berarti Belanda telah berhasil menakluki Aceh. Perjuangan rakyat terus berkobar di mana-mana maka pusat pemerintahan Aceh berpindah ke Lueng Bata, ke Pagar Air, kemudian ke Keumala, Lamlo Pidie. Peperangan terus berlangsung di seluruh Aceh. Ulama dan umara bergandeng tangan berperang mengusir Belanda. Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem  bergandeng tangan bersama pemimpin Aceh lainnya melawan Belanda.
Pada tahun 1875 untuk mengisi kekosongan Sultan, Majelis Kerajaan Aceh yang terdiri dari Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem  mengangkat  Tuanku Muhammad Daudsyah yang bocah kecil menggantikan pamannya Sultan Alaidin Mahmud Syah menjadi sultan dan Tuanku Hasyim bertindak sebagai walinya.
Ketika peperangan lagi berkecamuk dengan Belanda, pada 1878, beberapa ulubalang menyerah dan bekerja sama dengan Belanda. Disinilah kemudian muncul musyawarah Tanoh Abee, Lamsie yang dihadiri oleh Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem, Teungku Syiek di Tanoh Abee dan pejuang pejuang lainnya, untuk menyusun siasat baru  dan mencari pemimpin jihad  baru  melawan Belanda, diputuskan untuk meminta keseidaan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman
Chik di Tiro merupakan ulama baru pulang dari Mekkah bergabung dalam barisan pejuang. Maka mulai saat itu, Tengku Haji Saman memegang pimpinan perjuangan menentang Belanda yang umumnya dapat dikatakan sekiranya taklah bangun Haji Saman berangkat menyusun perlawanan dan peperangan kembali dengan Belanda, maka perang Atjeh-Belanda jang terkenal puluhan tahun itu. Telah habis riwajatnja sampai tahun 1880 (Ismail Yakob: 1943). Belanda sendiri kemudian, menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teugku Maat Syiek Di Tiro syahid di gunung Alimun.
Pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim (6)  disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1875-1939)  menyerah diri kepada Belanda. Akhirnya Sultan setelah bermusyawarah dengan penasihatnya datang dan bertemu dengan Belanda di Sigli. Pada 20 Januari 1903, Tuanku Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Raja menghadap Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz dan menandatangani MoU damai dengan Belanda.
Saat itu, Sultan menjadi tahanan kota dimana dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di Aceh Besar. Bahkan dibuatkan rumah tinggal, lengkap dengan perabotan dan menerima gaji bulanan sebesar 1.200 florin. Adapun anaknya mendapat biaya belajar dari Pemerintah Belanda. Semua fasilitas dan gaji yang diberikan dimaksudkan agar Sultan Muhammad Daud Syah membantu kepentingan Belanda di Aceh. Namun usaha tersebut ternyata hanya sia-sia.
Dari hasil penyelidikan intelijen Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah memberi sumbangan dan dukungan kepada para pemimpin gerilyawan Aceh. Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih sebagai perantara. Ketika tempat kediaman Sultan Muhammad Daud Syah digeledah pada Agustus 1907 ditemukan sejumlah surat milik sultan yang ditujukan kepada para pejuang. Di samping itu, terjadinya serangan kilat ke markas Belanda di Kuta Radja pada 6 Maret 1907 malam, secara tidak langsung juga diatur oleh Sultan Muhammad Daud Syah.(T. Ibrahim Alfian, 1999 : 141).
Pengaruhnya yang  masih sangat besar terhadap rakyat menyebabkan Gubernur Militer Aceh Letnan Jenderal  Van Daalen mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah dibuang  dari Aceh. Maka pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Batavia dan menetap di Jatinegara (sekarang Gudang Bulog).
Di Batavia Sultan Muhammad Daud terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang  untuk membantu kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap kehadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong  oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun.  Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini” (Talsya: 1982).
Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu Sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon.. Beberapa tahun kemudian dipindahkan kembali ke Rawamangun Jakarta sampai beliau menghembuskan nafas terakhir di Rawamangun Jatinegara  pada 6 Februari 1939. 
* Catatan M Adli Abdullah, pemerhati sejarah dan budaya Aceh

No comments:

Post a Comment