Wednesday, May 22, 2013

Sultana Zainatuddin Kamalat Syah


Paduka Seri Baginda Sultana Zainatuddin Kamalat Syah binti al-Marhum Raja Umar (ada pula yang menyebut Ziatuddin), mewarisi tahta kerajaan setelah kematian Sultanah Zaqiatuddin, pada tahun 1688.
Ada dua versi tentang asal-usulnya. Pertama ia adalah putri dari Raja Umar bin Sutan Muda Muhammad Muhidudin sekaligus adik angkat dari Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Yang kedua ia adalah anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja, adalah Panglima Sagi. Ia turun tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjungan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, East Indian Company.
Dia menikah dengan Sayid Ibrahim yang kemudian menggantikannya menjadi sultan dari Kesultanan Aceh dengan gelar Sultan Badrul Alam.
Dengan Sultan Badrul Alam, dia memiliki anak:

Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah


Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah menggantikan sultanah sebelumnya yang meninggal yaitu Sultanah Naqiatuddin Syah pada tahun 1678.
Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya ditolak Ratu dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri.
Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama al-Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Ratu meninggal 3 Oktober1688, lalu ia digantikan oleh Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah.
Menurut riwayat, Zaqiatuddin pernah memintahkan kepada Teungku Syiah Kuala untuk menerjemahkan Hadits Arba'in karya Imam Nawawi.

Sultanah Naqiatuddin Nurul Alam


Sultanah Naqiatuddin Nurul Alam adalah puteri Malik Radiat Syah. Ia memerintah setelah wafatnya Sultanah Safiatuddin, pada tahun 1675. Masa pemerintahannya hanya berlangsung selama 3 tahun sampai tahun 1678.[1]
Hal penting dan fundamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melakukan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam.[1]
Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam nagari-nagari yang terbagi Tiga Sagi itu. Untuk situasi sekarang, sistem pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah.[1]
Ia menghadapi tantangan yang lebih berat dari sultanah sebelumnya. Ia harus menghadapi ancaman dari kolonial Kristen (BelandaInggris danPortugis), sementara konflik intern juga terjadi ketika komunitas Wujudiyah menyebarkan ajarannya. Selain itu, terdapat pula kelompok yang menentang pemerintahannya. Perlawanan terhadap pemerintahannya dilakukan melalui sabotase serta pembakaran Kota Aceh.[2]

Sultanah Safiatuddin

Sebelum ia menjadi sultana, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1637-1641). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.
Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.
Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir PortugisPerancisInggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.[2] Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC dengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani BelandaPortugisInggrisIndia dan Arab.
Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.

Saturday, May 18, 2013

Sultan Tak Beristana


DALAM  catatan minggu ini, saya mengingatkan tragedi Sultan Aceh yang terakhir. Kisah Sultan Aceh memang banyak dikupas yang indah dan kemegahan yang melingkupi mereka. Ketika Sultan Aceh terakhir ini menghadapi penjajah Belanda, hidupnya sangat menderita. Ini tentu berbeda dengan raja-raja lain di Nusantara yang mengakui keberadaan penjajah kolonial. Mereka menerima kemegahan dan status sosial dari keturunannya. Terkait raja Aceh, kehidupan mereka jarang diangkat apalagi menjadi bahan diskusi kebudayaan Aceh.Ketika agresi kedua Belanda (Desember 1873) dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten berusaha membujuk Sultan  bersedia mengikat perdamaian dengan Belanda. Surat itu diantar oleh kurir Belanda yakni Mas Soemo Widikdjo pada 23 Desember 1873 bersama empat pengiringnya. Sultan tidak mengacuhkan tawaran itu dan memerintahkan kepada pasukan dan rakyat supaya memperhebat perlawanan di mana-mana. Membela tiap jengkal tanah dengan pengorbanan yang betapapun besarnya (Talsya:1981:38).
Prinsip orang nomor satu Aceh ini tidak mau melakukan perdamaian. Baginya, perdamaian mengakui keberadaan penjajah di tanah airnya. Damai berarti mengaku kalah. Akibatnya, Van Swienten terus mendesak ke istana dan memaksa Sultan Alaidin Mahmudsyah  (1870-1874) menyerah dan tunduk kepada Belanda.. Pada 24 Januari 1874, pukul  12 siang, Van Swieten masuk ke istana dengan harapan Sultan Alaidin Mahmudsyah ada di sana dan memaksa penyerahan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Tetapi Sultan Alaidin Mahmudsyah pada pagi telah mengungsi ke Lueng Bata dengan membiarkan istana kosong.
Artinya, secara simbolik, Sultan tetap menganggap mati adalah kalah. Jika istana diduduki, itu artinya belum dapat ditaklukkan. 
Letnan Jenderal Van Swieten marah besar gagal menangkap Sultan Alaidin dan gagal juga rencana memaksa Sultan  menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Walaupun mereka menduduki istana, tetapi  simbol tertinggi kerajaan yaitu raja tidak ditemukan. Akhirnya  Van Swieten, sebagaimana tradisi perang di Eropa, merampas seluruh harta kekayaan Sultan termasuk istana yang ditinggalkannya dan  mengumumkan kepada internasional bahwa  “Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang (humaniter) menjadi hak-milik Kerajaan Belanda”. Demikian pula, seluruh kekayaan pribadi dan asset istana dirampas dan dijadikan milik  pemerintah Belanda sesuai dengan asas hukum perang Recht van Over Winning  (H.C. Zentgraaff:1981 ).
Bekas istana ini dan aset pribadi Sultan selanjutnya dikuasai oleh KNIL alias serdadu Belanda seperti wilayah Kuta Alam, Neusu, Kraton dan lain-lain hingga di seluruh  Aceh. Karena itu, tidak mengejutkan jika Kraton Aceh sekarang tidak lagi menampakkan keasliannya karena sejak awal sudak dikuasai oleh militer dari colonial Belanda hingga Indonesia mardeka. Dalam peperangan ini, Van Swieten tetap mengakui kehebatan orang Aceh  seperti yang dia tulis dalam sepucuk surat kepada sahabatnya “Wij hebben te Atjeh te doen met een volk niet alleen dapper en oorlogzuchtig is dat nimmer door een ander volk overheerscht is geworden, maar ook van oudsher den roem van een krijgshaftig volk heft verworpen”, (kita berhadapan di Aceh dengan orang-orang yang tidak saja berani dan mempunyai nafsu perang dan tidak pernah dijajah, tetapi juga kita berhadapan dengan rakyat yang semenjak bahari sungguh tangkas berperang) (Paul Van Vier:1981).
Setelah istana  dikuasai Belanda dan Sultan Alaidin mangkat bukan berarti Belanda telah berhasil menakluki Aceh. Perjuangan rakyat terus berkobar di mana-mana maka pusat pemerintahan Aceh berpindah ke Lueng Bata, ke Pagar Air, kemudian ke Keumala, Lamlo Pidie. Peperangan terus berlangsung di seluruh Aceh. Ulama dan umara bergandeng tangan berperang mengusir Belanda. Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem  bergandeng tangan bersama pemimpin Aceh lainnya melawan Belanda.
Pada tahun 1875 untuk mengisi kekosongan Sultan, Majelis Kerajaan Aceh yang terdiri dari Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem  mengangkat  Tuanku Muhammad Daudsyah yang bocah kecil menggantikan pamannya Sultan Alaidin Mahmud Syah menjadi sultan dan Tuanku Hasyim bertindak sebagai walinya.
Ketika peperangan lagi berkecamuk dengan Belanda, pada 1878, beberapa ulubalang menyerah dan bekerja sama dengan Belanda. Disinilah kemudian muncul musyawarah Tanoh Abee, Lamsie yang dihadiri oleh Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem, Teungku Syiek di Tanoh Abee dan pejuang pejuang lainnya, untuk menyusun siasat baru  dan mencari pemimpin jihad  baru  melawan Belanda, diputuskan untuk meminta keseidaan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman
Chik di Tiro merupakan ulama baru pulang dari Mekkah bergabung dalam barisan pejuang. Maka mulai saat itu, Tengku Haji Saman memegang pimpinan perjuangan menentang Belanda yang umumnya dapat dikatakan sekiranya taklah bangun Haji Saman berangkat menyusun perlawanan dan peperangan kembali dengan Belanda, maka perang Atjeh-Belanda jang terkenal puluhan tahun itu. Telah habis riwajatnja sampai tahun 1880 (Ismail Yakob: 1943). Belanda sendiri kemudian, menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teugku Maat Syiek Di Tiro syahid di gunung Alimun.
Pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim (6)  disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1875-1939)  menyerah diri kepada Belanda. Akhirnya Sultan setelah bermusyawarah dengan penasihatnya datang dan bertemu dengan Belanda di Sigli. Pada 20 Januari 1903, Tuanku Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Raja menghadap Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz dan menandatangani MoU damai dengan Belanda.
Saat itu, Sultan menjadi tahanan kota dimana dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di Aceh Besar. Bahkan dibuatkan rumah tinggal, lengkap dengan perabotan dan menerima gaji bulanan sebesar 1.200 florin. Adapun anaknya mendapat biaya belajar dari Pemerintah Belanda. Semua fasilitas dan gaji yang diberikan dimaksudkan agar Sultan Muhammad Daud Syah membantu kepentingan Belanda di Aceh. Namun usaha tersebut ternyata hanya sia-sia.
Dari hasil penyelidikan intelijen Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah memberi sumbangan dan dukungan kepada para pemimpin gerilyawan Aceh. Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih sebagai perantara. Ketika tempat kediaman Sultan Muhammad Daud Syah digeledah pada Agustus 1907 ditemukan sejumlah surat milik sultan yang ditujukan kepada para pejuang. Di samping itu, terjadinya serangan kilat ke markas Belanda di Kuta Radja pada 6 Maret 1907 malam, secara tidak langsung juga diatur oleh Sultan Muhammad Daud Syah.(T. Ibrahim Alfian, 1999 : 141).
Pengaruhnya yang  masih sangat besar terhadap rakyat menyebabkan Gubernur Militer Aceh Letnan Jenderal  Van Daalen mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah dibuang  dari Aceh. Maka pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Batavia dan menetap di Jatinegara (sekarang Gudang Bulog).
Di Batavia Sultan Muhammad Daud terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang  untuk membantu kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap kehadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong  oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun.  Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini” (Talsya: 1982).
Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu Sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon.. Beberapa tahun kemudian dipindahkan kembali ke Rawamangun Jakarta sampai beliau menghembuskan nafas terakhir di Rawamangun Jatinegara  pada 6 Februari 1939. 
* Catatan M Adli Abdullah, pemerhati sejarah dan budaya Aceh

Thursday, May 16, 2013

Cara Donor Darah di Banda Aceh


BANDA ACEH – Keberadaan Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Banda Aceh yang berada di Jalan Stadion H Dimurtala Lampineueng Banda Aceh sangat penting. Khususnya bagi pasien di RSUDZA Banda Aceh yang sering membutuhkan darah.
Di UTD tersebut masyarakat bisa mendonorkan darahnya secara berkala. Namun, sebelum mengambil darah pendonor, petugas di UTD terlebih dahulu harus memeriksa kondisi calon pendonor.
Pemeriksaan tersebut diawali dengan pengisian formulir pendonoran, kemudian mengecek golongan darah, pemeriksaan hemoglobin (hb), mengecek berat badan, mengecek resus darah, memeriksa tekanan darah, dan memeriksa mengenai penyakit berat yang pernah diderita oleh calon pendonor.
Pemeriksaan langsung dilakukan oleh dokter umum yang bertugas di UTD tersebut. Jika semua kondisi calon pendonor sesuai, baru akan diambil darahnya.
Meski stok darah di PMI selalu ada, namun ada jenis-jenis golongan darah tertentu yang langka dan banyak dibutuhkan pasien.
“Paling banyak yang dibutuhkan golongan darah O. karena memang sangat dominan golongan darah tersebut,” ujar Ketua Divisi Donor Darah Komunitas Darah Untuk Aceh, Dedy, ketika dijumpai ATJEHPOSTcom di UTD PMI, Jumat, 4 Januari 2013.
Menurutnya, ia paling sering mencari pendonor darah untuk penderita thalassemia. Sedangkan golongan darah yang sangat langka katanya adalah golongan AB. Sedangkan resus darah yang sangat susah didapat adalah resus negatif atau minus.
“Untuk penderita thalassemia juga sangat banyak yang golongan darahnya O atau B. masing-masing pasien butuh darah sebulan sekali, itu juga tergantung HBnya. Jika rendah akan banyak membutuhkan darah, biasanya kalau HB rendah bisa tiga kantong sekali transfusi,” kata Dedy.[] (ihn)

Makanan di Aceh

Pulot Bakar
Mie Caluek
Adee Aceh
Bingkang Aceh
Nagasari Bireuen
Keripik Bireuen
Bakpia Sabang
Kopi Aceh
Martabak Aceh
Rujak Aceh

Bubur Kanji

Timphan
Ayam Tangkap
Keumamah

Mie Aceh
Plik U

Wednesday, May 15, 2013

Sirih Aceh



Daun sirih di Aceh dinamakan Ranub. Ranub memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Aceh. Ranub yang telah dibubuhi kapur, irisan pinang, dan gambir kemudian dikunyah sebagai makanan pelengkap.

Prosesi penyiapannya dari memetik daun sampai dengan menyajikannya divisualisasikan menjadi sebuah gerakan tari yang sangat dinamis dan artistik. Gerakan inilah yang akhirnya menjadi tarian tradisional asal Aceh yang dinamakan Tari Ranub Lampuan. Menyajikan ranub kepada tamu dalam tradisi Aceh adalah sebuah ungkapan rasa hormat.

Namun kita tidak pernah memperhatikan dengan seksama apa yang ada di balik semua aktifitas yang berkaitan dengan ranub. Ranub bagi masyarakat Aceh tidak hanya sekedar tumbuhan yang memiliki manfaat secara fisik semata. Namun di balik itu ada berbagai penafsiran poli-interpretasi, karena di dalam memahaminya ranub menjadi simbol yang multi rupa.

Pemaknaannya secara sosial dan kultural digunakan dalam banyak cara dan berbagai aktivitas. Ranub dengan segala perlengkapannya memainkan peranan penting pada masa kesultanan Aceh, dalam upacara-upacara kebesaran sultan.

Selain itu dalam perkembangannya, ranub juga menempati peranan yang cukup penting dalam sistem daur hidup (life cycle) masyarakat Aceh. Jika ada acara-acara resmi, seperti pernikahan, hajatan sunat, bahkan di acara penguburan mayat sekalipun, ranub seolah menjadi makanan wajib. Sehingga ada anggapan, adat dan ranub menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan di Aceh.

Dari masa sebelum melahirkan yakni ketika usia kehamilan mencapai tujuh atau delapan bulan, mertua sudah mengusahakan seorang bidan untuk menyambut kelahiran bayi. Pihak mertua dan ibunya sendiri biasanya mempersiapkan juga hadiah yang akan diberikan kepada bidan pada saat mengantar nasi sebagai tanda persetujuan.

Tanda ini disebut dengan peunulang, artinya hidup atau mati orang ini diserahkan kepada bidan. Setelah menerima peunulang, ada kewajiban bagi bidan untuk menjenguk setiap saat. Bahkan kadang-kadang ada yang menetap sampai sang bayi lahir. Biasanya hadiah yang diberikan kepada bidan antara lain seperti, ranub setepak (bahan-bahan ranub), pakaian sesalin (biasanya satu stel), dan uang ala kadarnya.

Pada saat bayi lahir, diadakan pemotongan tali pusar dengan sebilah sembilu, kemudian diobati dengan obat tradisional seperti dengan arang, kunyit, dan air ludah ranub. Upacara yang berkaitan dengan daur hidup lainnya yang didalamnya menggunakan ranub sebagai salah satu medianya adalah upacara antar mengaji.

Upacara perkawinan dalam masyarakat Aceh juga mempergunakan ranub dalam rangkaian upacaranya. Setelah seulangke mendapat kabar dari ayah si gadis, lalu menyampaikan kabar suka cita kepada keluarga pemuda, ditentukan waktu atau hari apa mengantar ranub kong haba, artinya ranub penguat kata atau perjanjian kawin (bertunangan).

Kemudian keluarga si pemuda mengumpulkan orang-orang patut dalam kampung kemudian memberi tahu maksud bahwa dimintakan kepada orang-orang yang patut tersebut untuk pergi ke rumah ayah si gadis untuk meminang si gadis dan bila dikabulkan terus diserahkan ranub kong haba atau tanda pertunangan dengan menentukan sekaligus berapa mas kawinnya (jiname/jeulamee).

Dalam hubungan sosial masyarakat Aceh, ranub juga memiliki fungsi dan peranan penting antara lain untuk penghormatan kepada tamu. Sekaligus untuk menjalin keakraban dan perasaan solidaritas kelompok, maupun sebagai media untuk meredam/menyelesaikan konflik serta menjaga harmoni sosial.

Menjadi Simbol

Berkaitan dengan adat menyuguhkan ranub tersebut, ranub dapat diartikan sebagai simbol kerendahan hati dan sengaja memuliakan tamu atau orang lain walaupun dia sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah.

Sebentuk daun sirih (sebagai aspek ikonik) dalam kaitan ini dapat dirujuk pada aspek indeksikalnya adalah sifat rasa yang pedar dan pedas. Simbolik yang terkandung di dalamnya adalah sifat rendah hati dan pemberani.  Ranub juga dianggap memiliki makna sebagai sumber perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuek, meu-uroh, dan upacara lainnya ranub hadir ditengah-tengahnya.

Semua bentuk upacara itu selalu diawali dengan menyuguhkan ranub sebelum upacara tersebut dimulai. Dalam etika sosial masyarakat Aceh, tamu (jamee) harus selalu dilayani dan dihormati secara istimewa.

Hal ini terjadi karena seluruh segi kehidupan masyarakat Aceh telah dipengaruhi oleh ajaran Islam yang dibakukan dalam adat dan istiadat.

Sementara Bate Ranub (puan) yang menjadi wadahnya melambangkan keindahan budi pekerti dan akhlak yang luhur. Wadah tersebut sebagai satu kesatuan yang melambangkan sifat keadatan.

Maka ke depan modifikasi kemasan ranub ini perlu diperhatikan, bagaimana anak-anak Aceh tidak asing dengan budayanya dari pemakan ranub kini menjadi pengkomsumsi narkoba dan produk-produk luar untuk pencitraan modern, meskipun di tempat asalnya makanan itu sudah dianggap sebagai makanan jalanan atau makanan sampah (junk food).

Wali Nanggroe


Wali Nanggroe masa Aceh dalam NKRI (1945-sekarang)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, baru dimunculkan dan dimuat lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe pada BAB VII Pasal 10 yang diberi arti sebagai berikut :
Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian, penyelenggaraan kehidupan adat, agama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(1)        Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan pemerintah dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(2)        Hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
MoU Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 pada Butir 1.7.1 halaman 9 menegaskan; bahwa lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya (berarti lembaga ini lebih mengarah kepada lembaga adat daripada kepada lembaga Pemerintahan dan Politik).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pembentukan lembaga Wali Nanggroe tetap dilanjutkan pada BAB XII Pasal 96 dengan pengertian sebagai berikut :
(1)        Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independent, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar / derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
(2)        Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ahyat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh.
(3)        Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independent.
(4)        Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.

Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe.

1.    Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2008
(1)        Wali Nanggroe adalah pemimpin Lembaga Adat Nanggroe yang independent sebagai pemersatu masyarakat, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, pemberian gelar kehormatan dan derajat serta upacara-upacara adat Aceh.
(2)        Tuha Nanggroe adalah Wakil Wali Nanggroe yang komposisinya mewakili representasi wilayah Nanggroe Aceh yang bertugas membantu Wali Nanggroe berdasarkan bidang tugas tertentu.
(3)        Wali Nanggroe adalah lembaga adat, bukan lembaga pemerintahan dan lembaga politik sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
(4)        Tugas dan Wewenang Wali Nanggroe adalah :
a.       Wali Nanggroe bertugas memimpin lembaga Wali Nanggroe;
b.      Wali Nanggroe bertugas membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan budaya, adat dan adat-istiadat;
c.       Wali Nanggroe berwenang memberikan gelar kehormatan dan derajat adat serta berwenang melaksanakan upacara-upacara adat.
2.    Rancangan Qanun Aceh  tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2010.
(1)        Wali Nanggroe adalah Penguasa Pemerintahan Aceh (dalam adat) yang berkedudukan lebih tinggi dalam tatanan pemerintahan Aceh, lebih tinggi dari Kepala Pemerintah dan Parlemen Aceh dan menjadi figure pemersatu rakyat Aceh.
(2)        Lembaga Wali Nanggroe adalah institusi resmi dalam Pemerintahan Aceh yang independent dan berwibawa; memiliki kantor secretariat sendiri.
(3)        Lembaga Wali Nanggroe adalah institusi resmi dalam Pemerintahan Aceh yang tertinggi dan independent.
(4)        Kewenangan Lembaga Wali Nanggroe yang diatur dalam Pasal 5 Draf Qanun tersebut mulai dari ayat (2) huruf (a) sampai dengan huruf (p), telah mencampuri Kewenangan Lembaga Pemerintahan dan bertentangan dengan UUD 1945.
(5)        Tugas dan fungsi Lembaga Wali Nanggroe dalam pasal 6 Draf Qanun tersebut juga telah merubah fungsi lembaga tersebut dari Lembaga Adat menjadi Lembaga Pemerintahan dan Politik.
3.    Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2012.
1)        Isi Rancangan Qanun Wali Nanggroe Aceh sesuai dengan BAB XII Pasal 96 UUPA Nomor 11 Tahun 2006 yaitu :
(1)    Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya (Tidak ada tugas politik).
(2)    Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh.
2)         Dalam Rancangan Qanun ini dimasukkan hal politik, tanpa lebih dulu Amandemen UU Nomor 11Tahun 2006, memang prinsipnya hanya sebatas pengawasan kelembagaan bukan mencampuri Internal Lembaga Partai Politik, tapi cuma sebagai pembiaan semata. Prinsip tersebut adalah sebagai pemersatu yang independen, dan berwibawa serta bermartabat, Keagungan Dinul Islam, Kemakmuran Rakyat, Keadilan dan Kedamaian, Pembinaan Kehormatan, Kewibawaan Politik, Adat dan Tradisi Sejarah serta Tamadun Aceh.
3)         Lembaga Wali Nanggroe memiliki hak Imunitas bukan berarti hak kebal terhadap hokum dan tidak biasa dipanggil oleh penyidik untuk di minta keterangan. Tapi, hak untuk tidak dapat dituntut didepan pengadilan, karena pernyataan atau pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukan secara lisan maupun tertulis yang berkaitan dengan tugas, fungsi dan kewenangannya sebelum mendapat izin Pimpinan DPRA.
4.    Pengesahan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe
Qanun Aceh Tentang Wali Naggroe telah disahkan oleh Gubernur Aceh menjadi Qanun Aceh No. 8 Tahun 2012, tanpa Klarifikasi lebih dulu oleh Menteri Dalam Negeri RI dan sampai saat Qanun ini disahkan belum dipublikasikan dan beredar diseluruh Aceh. Katanya hanya untuk dasar hukum guna mengajukan Anggaran Operasional Wali Nanggoe dalam APBA Tahun 2013 sebesar Rp. 50 Milyar.
Tanggapan Pemerintah Daerah Aceh, Qanun Wali Nanggroe sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh, sekarang dalam proses pengiriman ke Mendagri, anehnya belum diklarifikasi sudah diundangkan. Jika tidak sesuai dan bertentang dengan Undang-Undang yang lebih tinggi, maka Qanun Aceh tersebut harus dibatalkan oleh Pemerintah. Tentu sungguh memalukan Rakyat Aceh dan telah menghabiskan biaya begitu banyak dalam membahas Qanun Wali Nanggroe mulai Tahun 2001-2012, hasilnya sampai saat ini belum ada kepastian hukum yang positif.
Mengapa terjadi demikian karena Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe telah bertentangan dengan :
  • Setelah dicermati qanun tersebut baik secara formil, bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan maupun secara materiil, qanun tersebut telah bertentangan dengan berbagai aturan perundangan yang lebih tinggi dan memposisikan Lembaga Wali Nanggroe menyimpang dari pasal 96 UUPA No. 11 Tahun 2006.
  • Dalam ketentuan pasal 145 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa : Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundangan – undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
  • Keputusan pembatalan Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterima Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  • Berdasarkan pada ketentuan ayat (3), ditetapkan bahwa keputusan pembatalan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka Pemerintah jangan melakukan politik pembiyaran terhadap Regulasi Qanun Aceh tersebut, kalau tidak bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi hendaknya segera diklarifikasi dan disetujui untuk menjadi Qanun Aceh. Kalau bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi segera dibatalkan oleh Pemerintah agar Eksekutif dan Legislatif Aceh tidak acak-acak dan coba – coba dalam membuat Qanun Aceh yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh dari Sabang sampai ke Singkil dan dari Tamiang sampai ke Seumeulu.

Penulis adalah Dosen, Pengamat Pemerintahan dan Politik