Wednesday, May 15, 2013

GUNUNG LAUSER

Indonesia adalah negeri yang memiliki banyak keindahan. Dari Sabang sampai Merauke, di setiap sudut negeri ini memiliki keindahan yang tak ternilai. Salah satu keindahan yang dimiliki negeri ini adalah Taman Nasional Gunung Leuser atau yang biasa disebut TNGL. Taman terbesar di Indonesia ini adalah salah satu kawasan pelestarian alam yang sangat eksotis dengan keberagaman makhluk hidup di dalamnya. Taman yang mengambil nama dari Gunung Leuser ini menyandang dua status berskala global yaitu sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981 dan sebagai Warisan Dunia pada tahun 2004 yang disahkan oleh UNESCO. Keindahannya tak dapat diragukan lagi.
Berbagai jenis ekosistem, flora maupun fauna mewarnai keindahan Taman Nasional ini. Taman Nasional Gunung Leuser mempunyai ekosistem asli dari pantai sampai pegunungan tinggi yang meliputi hutan hujan tropis dan dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pendidikan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser juga memiliki beberapa Pusat Rehabilitasi Satwa, seperti Pusat Rehabilitasi Orang Utan di Bahorok, Pusat Rehabilitasi Satwa Langka di Sikundur, dan Pusat Penelitian Alam di Katambe, Aceh Tenggara.
Taman Nasional Gunung Leuser terletak di dua Provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Secara yuridis formal, keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gede Pangrango, Taman Nasional Baluran, dan Taman Nasional Komodo.
Berdasarkan pengumuman itu, maka ditetapkanlah luas Taman Nasional Gunung Leuser sementara adalah 792.675 Ha. Pengumuman tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat itu disebutkan bahwa status kewenangan pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser diberikan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser.
Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007, Saat ini pengelola TNGL adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan yaitu Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang dipimpin oleh Kepala Balai Besar (setingkat eselon II). Sebagai usaha untuk melegalitaskan rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka dikeluarkanlah lagi Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang penunjukan hutan seluas 1.094.692 Ha yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara sebagai Taman Nasional Gunung Leuser. Dalam keputusan tersebut, disebutkan bahwa Taman Nasional Gunung Leuser terdiri dari gabungan:
1.     Suaka Margasatwa GunungLeuser                             : 416.500 Ha
2.     Suaka Margasatwa Kluet                                            : 20.000 Ha
3.     Suaka Margasatwa Langkat Barat                              : 51.000 Ha
4.     Suaka Margasatwa Langkat Selatan                           : 82.985 Ha
5.     Suaka Margasatwa Sekundur                                     : 60.600 Ha
6.     Suaka Margasatwa Kappi                                           : 142.800 Ha
7.     Taman Wisata Gurah                                                  : 9.200 Ha
8.     Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas              : 292.707 Ha

Dengan kawasan hijau yang sangat luas, Taman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu paru-paru dunia yang memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan Sistem Penyangga Kehidupan (Life Support System). Taman Nasional Gunung Leuser menjaga suplai air bagi empat juta masyarakat yang tinggal di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Hampir sembilan kabupaten bergantung pada manfaat Taman Nasional Gunung Leuser. Antara lain berupa ketersediaan air konsumsi, air pengairan, sistem penjaga kesuburan tanah, mengendalikan banjir, dan sebagainya.
Selain itu, ada  lima Daerah Aliran Sungai di Aceh dan tiga Daerah Aliran Sungai di Sumatera Utara yang dilindungi oleh Taman Nasional Gunung Leuser. Lima Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah Provinsi Aceh, yaitu DAS Jambo Aye, DAS Tamiang-Langsa, DAS Singkil, DAS Sikulat-Tripa, dan DAS Baru-Kluet. Sedangkan yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara adalah DAS Besitang, DAS Lepan, dan DAS Wampu Sei Ular.
Taman Nasional Gunung Leuser juga memiliki fungsi sebagai habitat asli satwa Sumatera seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris), Orang Utan Sumatera (Pongo abelii), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus), Owa (Hylobathes lar), dan Kedih (Presbytis thomasii). Tidak hanya itu, Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan dengan daftar spesies burung terbanyak di dunia dengan 380 spesies dan rumah bagi 36 dari 50 spesies burung Sundaland.
Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera tercatat ada di tempat ini. Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna, mulai dari mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, dan invertebrata. Maka dari itu, tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut Taman Nasional Gunung Leuser sebagai laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati.
Dengan semua potensi yang dimiliki, seharusnya kita bangga dan menjaga rahmat Ilahi yang dititipkan kepada kita bersama-sama. Tapi sebagaimana putih, tentu ada hitam. Mustahil jika tidak ada ‘Tangan – Tangan Jahil’ yang ingin mengeksploitasi hasil hutan secara berlebihan demi keuntungan pribadi dengan tidak memperhitungkan konsekuensinya ke masyarakat luas. Hal itu dapat disimpulkan dari maraknya kasus pembalakan liar di beberapa lokasi yang menyalahi batas reservasi lingkungan, sehingga menyebabkan bencana longsor dan banjir bandang, seperti yang telah terjadi beberapa tahun belakangan ini. Bencana Banjir Bandang dan Longsor di Bahorok, Besitang, hingga Aceh Tenggara telah banyak memakan korban jiwa dan kerugian materi.
Perambahan kawasan hutan dapat memicu perubahan iklim lokal yang meningkatkan kekeringan pada musim kering dan meningkatkan curah hujan di musim penghujan. Peningkatan debit air yang berlebih di tanah yang gundul menjadi penyebab utama banjir bandang dan tanah longsor. Dengan demikian, merajalelanya kegiatan illegal logging di Langkat, Aceh Tenggara dan di banyak lokasi lain di Kawasan Ekosistem Leuser, mungkin saja telah menimbulkan perubahan iklim lokal. Bila keterkaitan ini terbukti oleh penelitian lebih lanjut, maka hal ini dapat disimpulkan sebagai penyebab yang menentukan bencana. Tidak hanya itu saja, pengrusakan hutan yang berlebihan akan menghancurkan habitat satwa yang dilindungi. Penghancuran itu otomatis akan mengurangi jumlah populasi satwa yang dilindungi itu. Apabila hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin satwa khas sumatera yang kita banggakan itu akan terancam kepunahannya.
Namun ironi, berdasarkan hasil investigasi dan survei yang dilakukan Walhi Aceh bersama Yayasan RMTM dan YELPED Aceh Tenggara, rata-rata pemilik usaha panglong di Aceh Tenggara adalah para oknum aparatur Negara yang dalam hal ini kalangan oknum aparat, pejabat pemerintah dan anggota maupun mantan anggota dewan yang terhormat.
Seharusnya kita bijak dan menyadari, bahwa kita diciptakan Tuhan untuk menjadi Khalifah di Bumi ini dengan menjaganya, bukan menghancurkannya. Sesungguhnya banyak manfaat yang akan kita dapat dengan menjaga hutan. Studi yang dilakukan oleh Beukering, dkk (2003) mensinyalir bahwa Nilai Ekonomi Total Ekosistem Leuser, termasuk TNGL di dalamnya, dihitung dengan suku bunga 4% selama 30 tahun adalah USD 7.0 milyar (bila terdeforestasi), USD 9.5 milyar (bila dikonservasi), dan USD 9.1 milyar (bila dimanfaatkan secara lestari). Hal ini menunjukkan bahwa Taman Nasional Gunung Leuser selain mempunyai peran dan fungsi yang sangat besar dalam mendukung Sistem Penyangga Kehidupan (Life Support System) dan Keberlanjutan Pembangunan (Sustainable Development), juga memiliki nilai ekonomi yang besar jika kita dapat mengolahnya dengan bijak. Namun pada kenyataannya, kita kurang bijak dalam menyikapi rahmat ini. Kawasan hutan yang sejatinya adalah habitat asli berbagai macam jenis satwa langka, sedikit demi telah sedikit dihancurkan.
Maka dari ini, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak serius dalam menangani Illegal logging yang terjadi di TNGL. Pemerintah harusnya lebih cerdas membuat kebijakan yang berdasarkan kemaslahatan jangka panjang, bukan untuk kepentingan para investor yang dapat bertindak lewat batas dengan surat izinnya.
Ingatlah, sekali kita menghancurkan yang ada, sulit bagi kita untuk membangunnya kembali

No comments:

Post a Comment