Wednesday, May 22, 2013

Sultana Zainatuddin Kamalat Syah


Paduka Seri Baginda Sultana Zainatuddin Kamalat Syah binti al-Marhum Raja Umar (ada pula yang menyebut Ziatuddin), mewarisi tahta kerajaan setelah kematian Sultanah Zaqiatuddin, pada tahun 1688.
Ada dua versi tentang asal-usulnya. Pertama ia adalah putri dari Raja Umar bin Sutan Muda Muhammad Muhidudin sekaligus adik angkat dari Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah. Yang kedua ia adalah anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja, adalah Panglima Sagi. Ia turun tahta pada bulan Oktober 1699. Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjungan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris, East Indian Company.
Dia menikah dengan Sayid Ibrahim yang kemudian menggantikannya menjadi sultan dari Kesultanan Aceh dengan gelar Sultan Badrul Alam.
Dengan Sultan Badrul Alam, dia memiliki anak:

Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah


Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah menggantikan sultanah sebelumnya yang meninggal yaitu Sultanah Naqiatuddin Syah pada tahun 1678.
Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya ditolak Ratu dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri.
Tamu lainnya adalah kedatangan utusan dari Mekkah. Tamu tersebut bernama al-Hajj Yusuf E. Qodri yang diutus oleh Raja Syarif Barakat yang datang tahun 1683. Ratu meninggal 3 Oktober1688, lalu ia digantikan oleh Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah.
Menurut riwayat, Zaqiatuddin pernah memintahkan kepada Teungku Syiah Kuala untuk menerjemahkan Hadits Arba'in karya Imam Nawawi.

Sultanah Naqiatuddin Nurul Alam


Sultanah Naqiatuddin Nurul Alam adalah puteri Malik Radiat Syah. Ia memerintah setelah wafatnya Sultanah Safiatuddin, pada tahun 1675. Masa pemerintahannya hanya berlangsung selama 3 tahun sampai tahun 1678.[1]
Hal penting dan fundamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melakukan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam.[1]
Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan menyerahkan urusan pemerintahan dalam nagari-nagari yang terbagi Tiga Sagi itu. Untuk situasi sekarang, sistem pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah.[1]
Ia menghadapi tantangan yang lebih berat dari sultanah sebelumnya. Ia harus menghadapi ancaman dari kolonial Kristen (BelandaInggris danPortugis), sementara konflik intern juga terjadi ketika komunitas Wujudiyah menyebarkan ajarannya. Selain itu, terdapat pula kelompok yang menentang pemerintahannya. Perlawanan terhadap pemerintahannya dilakukan melalui sabotase serta pembakaran Kota Aceh.[2]

Sultanah Safiatuddin

Sebelum ia menjadi sultana, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1637-1641). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, Nurudin Ar Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.
Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.
Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir PortugisPerancisInggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.[2] Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC dengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani BelandaPortugisInggrisIndia dan Arab.
Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.

Saturday, May 18, 2013

Sultan Tak Beristana


DALAM  catatan minggu ini, saya mengingatkan tragedi Sultan Aceh yang terakhir. Kisah Sultan Aceh memang banyak dikupas yang indah dan kemegahan yang melingkupi mereka. Ketika Sultan Aceh terakhir ini menghadapi penjajah Belanda, hidupnya sangat menderita. Ini tentu berbeda dengan raja-raja lain di Nusantara yang mengakui keberadaan penjajah kolonial. Mereka menerima kemegahan dan status sosial dari keturunannya. Terkait raja Aceh, kehidupan mereka jarang diangkat apalagi menjadi bahan diskusi kebudayaan Aceh.Ketika agresi kedua Belanda (Desember 1873) dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten berusaha membujuk Sultan  bersedia mengikat perdamaian dengan Belanda. Surat itu diantar oleh kurir Belanda yakni Mas Soemo Widikdjo pada 23 Desember 1873 bersama empat pengiringnya. Sultan tidak mengacuhkan tawaran itu dan memerintahkan kepada pasukan dan rakyat supaya memperhebat perlawanan di mana-mana. Membela tiap jengkal tanah dengan pengorbanan yang betapapun besarnya (Talsya:1981:38).
Prinsip orang nomor satu Aceh ini tidak mau melakukan perdamaian. Baginya, perdamaian mengakui keberadaan penjajah di tanah airnya. Damai berarti mengaku kalah. Akibatnya, Van Swienten terus mendesak ke istana dan memaksa Sultan Alaidin Mahmudsyah  (1870-1874) menyerah dan tunduk kepada Belanda.. Pada 24 Januari 1874, pukul  12 siang, Van Swieten masuk ke istana dengan harapan Sultan Alaidin Mahmudsyah ada di sana dan memaksa penyerahan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Tetapi Sultan Alaidin Mahmudsyah pada pagi telah mengungsi ke Lueng Bata dengan membiarkan istana kosong.
Artinya, secara simbolik, Sultan tetap menganggap mati adalah kalah. Jika istana diduduki, itu artinya belum dapat ditaklukkan. 
Letnan Jenderal Van Swieten marah besar gagal menangkap Sultan Alaidin dan gagal juga rencana memaksa Sultan  menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda. Walaupun mereka menduduki istana, tetapi  simbol tertinggi kerajaan yaitu raja tidak ditemukan. Akhirnya  Van Swieten, sebagaimana tradisi perang di Eropa, merampas seluruh harta kekayaan Sultan termasuk istana yang ditinggalkannya dan  mengumumkan kepada internasional bahwa  “Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang (humaniter) menjadi hak-milik Kerajaan Belanda”. Demikian pula, seluruh kekayaan pribadi dan asset istana dirampas dan dijadikan milik  pemerintah Belanda sesuai dengan asas hukum perang Recht van Over Winning  (H.C. Zentgraaff:1981 ).
Bekas istana ini dan aset pribadi Sultan selanjutnya dikuasai oleh KNIL alias serdadu Belanda seperti wilayah Kuta Alam, Neusu, Kraton dan lain-lain hingga di seluruh  Aceh. Karena itu, tidak mengejutkan jika Kraton Aceh sekarang tidak lagi menampakkan keasliannya karena sejak awal sudak dikuasai oleh militer dari colonial Belanda hingga Indonesia mardeka. Dalam peperangan ini, Van Swieten tetap mengakui kehebatan orang Aceh  seperti yang dia tulis dalam sepucuk surat kepada sahabatnya “Wij hebben te Atjeh te doen met een volk niet alleen dapper en oorlogzuchtig is dat nimmer door een ander volk overheerscht is geworden, maar ook van oudsher den roem van een krijgshaftig volk heft verworpen”, (kita berhadapan di Aceh dengan orang-orang yang tidak saja berani dan mempunyai nafsu perang dan tidak pernah dijajah, tetapi juga kita berhadapan dengan rakyat yang semenjak bahari sungguh tangkas berperang) (Paul Van Vier:1981).
Setelah istana  dikuasai Belanda dan Sultan Alaidin mangkat bukan berarti Belanda telah berhasil menakluki Aceh. Perjuangan rakyat terus berkobar di mana-mana maka pusat pemerintahan Aceh berpindah ke Lueng Bata, ke Pagar Air, kemudian ke Keumala, Lamlo Pidie. Peperangan terus berlangsung di seluruh Aceh. Ulama dan umara bergandeng tangan berperang mengusir Belanda. Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem  bergandeng tangan bersama pemimpin Aceh lainnya melawan Belanda.
Pada tahun 1875 untuk mengisi kekosongan Sultan, Majelis Kerajaan Aceh yang terdiri dari Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem  mengangkat  Tuanku Muhammad Daudsyah yang bocah kecil menggantikan pamannya Sultan Alaidin Mahmud Syah menjadi sultan dan Tuanku Hasyim bertindak sebagai walinya.
Ketika peperangan lagi berkecamuk dengan Belanda, pada 1878, beberapa ulubalang menyerah dan bekerja sama dengan Belanda. Disinilah kemudian muncul musyawarah Tanoh Abee, Lamsie yang dihadiri oleh Tuanku Raja Keumala, Tuanku Hasyem, dan Teuku Panglima Polem, Teungku Syiek di Tanoh Abee dan pejuang pejuang lainnya, untuk menyusun siasat baru  dan mencari pemimpin jihad  baru  melawan Belanda, diputuskan untuk meminta keseidaan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman
Chik di Tiro merupakan ulama baru pulang dari Mekkah bergabung dalam barisan pejuang. Maka mulai saat itu, Tengku Haji Saman memegang pimpinan perjuangan menentang Belanda yang umumnya dapat dikatakan sekiranya taklah bangun Haji Saman berangkat menyusun perlawanan dan peperangan kembali dengan Belanda, maka perang Atjeh-Belanda jang terkenal puluhan tahun itu. Telah habis riwajatnja sampai tahun 1880 (Ismail Yakob: 1943). Belanda sendiri kemudian, menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teugku Maat Syiek Di Tiro syahid di gunung Alimun.
Pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim (6)  disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan penyanderaan ini agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1875-1939)  menyerah diri kepada Belanda. Akhirnya Sultan setelah bermusyawarah dengan penasihatnya datang dan bertemu dengan Belanda di Sigli. Pada 20 Januari 1903, Tuanku Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Raja menghadap Gubernur Aceh Jenderal Van Heutz dan menandatangani MoU damai dengan Belanda.
Saat itu, Sultan menjadi tahanan kota dimana dia hanya diperbolehkan bergerak bebas di Aceh Besar. Bahkan dibuatkan rumah tinggal, lengkap dengan perabotan dan menerima gaji bulanan sebesar 1.200 florin. Adapun anaknya mendapat biaya belajar dari Pemerintah Belanda. Semua fasilitas dan gaji yang diberikan dimaksudkan agar Sultan Muhammad Daud Syah membantu kepentingan Belanda di Aceh. Namun usaha tersebut ternyata hanya sia-sia.
Dari hasil penyelidikan intelijen Belanda, Sultan Muhammad Daud Syah memberi sumbangan dan dukungan kepada para pemimpin gerilyawan Aceh. Sultan memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih sebagai perantara. Ketika tempat kediaman Sultan Muhammad Daud Syah digeledah pada Agustus 1907 ditemukan sejumlah surat milik sultan yang ditujukan kepada para pejuang. Di samping itu, terjadinya serangan kilat ke markas Belanda di Kuta Radja pada 6 Maret 1907 malam, secara tidak langsung juga diatur oleh Sultan Muhammad Daud Syah.(T. Ibrahim Alfian, 1999 : 141).
Pengaruhnya yang  masih sangat besar terhadap rakyat menyebabkan Gubernur Militer Aceh Letnan Jenderal  Van Daalen mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah dibuang  dari Aceh. Maka pada 24 Desember 1907, Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah, isteri, anaknya Tuanku Raja Ibrahim, Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh, pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Batavia dan menetap di Jatinegara (sekarang Gudang Bulog).
Di Batavia Sultan Muhammad Daud terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang  untuk membantu kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut: “Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap kehadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong  oleh orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun beta melawan sampai 30 tahun.  Jika boleh sahabat bagi, mari kapal sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini” (Talsya: 1982).
Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu Sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon.. Beberapa tahun kemudian dipindahkan kembali ke Rawamangun Jakarta sampai beliau menghembuskan nafas terakhir di Rawamangun Jatinegara  pada 6 Februari 1939. 
* Catatan M Adli Abdullah, pemerhati sejarah dan budaya Aceh

Thursday, May 16, 2013

Cara Donor Darah di Banda Aceh


BANDA ACEH – Keberadaan Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Banda Aceh yang berada di Jalan Stadion H Dimurtala Lampineueng Banda Aceh sangat penting. Khususnya bagi pasien di RSUDZA Banda Aceh yang sering membutuhkan darah.
Di UTD tersebut masyarakat bisa mendonorkan darahnya secara berkala. Namun, sebelum mengambil darah pendonor, petugas di UTD terlebih dahulu harus memeriksa kondisi calon pendonor.
Pemeriksaan tersebut diawali dengan pengisian formulir pendonoran, kemudian mengecek golongan darah, pemeriksaan hemoglobin (hb), mengecek berat badan, mengecek resus darah, memeriksa tekanan darah, dan memeriksa mengenai penyakit berat yang pernah diderita oleh calon pendonor.
Pemeriksaan langsung dilakukan oleh dokter umum yang bertugas di UTD tersebut. Jika semua kondisi calon pendonor sesuai, baru akan diambil darahnya.
Meski stok darah di PMI selalu ada, namun ada jenis-jenis golongan darah tertentu yang langka dan banyak dibutuhkan pasien.
“Paling banyak yang dibutuhkan golongan darah O. karena memang sangat dominan golongan darah tersebut,” ujar Ketua Divisi Donor Darah Komunitas Darah Untuk Aceh, Dedy, ketika dijumpai ATJEHPOSTcom di UTD PMI, Jumat, 4 Januari 2013.
Menurutnya, ia paling sering mencari pendonor darah untuk penderita thalassemia. Sedangkan golongan darah yang sangat langka katanya adalah golongan AB. Sedangkan resus darah yang sangat susah didapat adalah resus negatif atau minus.
“Untuk penderita thalassemia juga sangat banyak yang golongan darahnya O atau B. masing-masing pasien butuh darah sebulan sekali, itu juga tergantung HBnya. Jika rendah akan banyak membutuhkan darah, biasanya kalau HB rendah bisa tiga kantong sekali transfusi,” kata Dedy.[] (ihn)

Makanan di Aceh

Pulot Bakar
Mie Caluek
Adee Aceh
Bingkang Aceh
Nagasari Bireuen
Keripik Bireuen
Bakpia Sabang
Kopi Aceh
Martabak Aceh
Rujak Aceh

Bubur Kanji

Timphan
Ayam Tangkap
Keumamah

Mie Aceh
Plik U