Thursday, May 9, 2013

Regasifikasi LNG

PT Arun di Tikungan Jalan

Selasa, 7 Mei 2013 12:19 WIB
Oleh Iqbal Hasan Saleh

PT ARUN adalah ‘intan berlian’ Indonesia yang ada di Tanah Rencong. Pendahulu kita dari Aceh seperti Gubernur Aceh waktu itu, Muzakkir Walad dkk telah berhasil meyakinkan Pemerintah Pusat bahwa Kilang LNG ini, sebaiknya dibangun di Aceh (bukan di provinsi lain) agar keberadaannya bermanfaat bagi ekonomi masyarakat Aceh. Alhamdulillah, mereka telah bisa mengubah hutan dan payau-payau yang berada di dekat Kota Lhokseumawe menjadi industri besar yang telah menopang ekonomi bangsa Indonesia, terutama di masa kejayaan PT Arun pada era 1980-an sampai 1990-an dan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. 

Sekarang ‘intan berlian’ bisnis LNG Arun ini telah pudar dan merosot rendah sekali, karena cadangan minyak dan gas yang ada di bumi Aceh tinggal sedikit lagi. Sebagai gambaran, pada 1994, PT Arun NGL mampu memproduksi 224 kapal kargo per tahun, sementara pada 2012 lalu hanya bisa memproduksi 16 kapal kargo atau hanya 6% dibandingkan dengan produksi ketika PT Arun masih jaya dulu. Bahkan, pada 2014 mendatang, semua kontrak LNG akan berakhir. Itu berarti bisnis LNG akan berakhir dan tinggal bisnis kondensate yang akan berakhir tahun 2018.

Dengan berakhirnya bisnis LNG dan kondensate tersebut, maka tinggallah aset-aset besar yang telah didirikan oleh para pendahulu kita, berupa tanah seluas 1.980 hektare, dermaga yang dapat disandari oleh kapal-kapal besar internasional, tanki-tanki LNG, tanki-tanki elpiji, dan tanki kondensate, unit pembangkit listrik 220 MW, perumahan karyawan, sarana-sarana olahraga, rumah sakit, dan sebagainya.

 Pertanyaan besar

Pertanyaan besar bagi generasi sekarang ini adalah, apakah aset yang sudah berdiri di atas tanah seluas 1.980 hektare di Blang Lancang itu akan kita upayakan bersama untuk menjelma menjadi bisnis-bisnis lainnya, sehingga tetap bermanfaat bagi ekonomi masyarakat dan Provinsi Aceh? Ataukah aset-aset ini akan kita preteli satu persatu, sehingga akhirnya akan menjadi pasar malam di mana komedi putar dan layar tancap ada di dalamnya? 

Singapura saja yang tak punya banyak lahan, terpaksa mereklamasi atau mengurung air lautnya untuk memperluas daratan agar dapat membangun fasilitas seperti di Arun. Apakah bijak bagi kita yang sudah memiliki aset sehebat ini, memecah-mecah aset-aset tersebut sehingga tidak banyak berdampak ekonomis bagi masyarakat Aceh? Dengan menjaga keutuhan dari lahan dan aset-aset Arun ini, Aceh memiliki daya saing yang jauh lebih tinggi daripada provinsi lain di Indonesia, terutama kalau Indonesia ingin membangun kilang BBM yang memang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini.

Apakah karena gas dari bumi ini sudah habis, lalu kita menyerah dan pasrah, sehingga aset-aset ini menjadi besi tua dan Blang Lancang menjadi hutan kembali? Kalau generasi ayah-ayah kita telah bisa menciptakan hal yang sehebat itu, dimanakah letak andil kita sebagai generasi penerus? Bukankah asset ini sangat baik untuk kemaslahatan anak cucu kita generasi Aceh berikutnya? Orang bijak mengatakan, “tikungan di sebuah jalan bukanlah ujung dari jalan itu, kecuali kalau kita gagal belok.” 

Jalan yang kita tempuh sekarang ini adalah jalan produksi LNG. Lalu, apakah setelah gas bumi habis, lalu kita berhenti, seolah-olah perjalanan kita sudah berakhir. Bukankah aset sehebat itu bisa kita manfaatkan untuk melakukan bisnis-bisnis lainnya? Lalu, bisnis apa saja yang bisa kita upayakan di lahan kilang Arun ini?

 Regasifikasi LNG
Memproduksi LNG sebetulnya hanya untuk memudahkan pengangkutan gas bumi dari satu tempat produksi ke tempat pengguna gas tersebut. Kalau diangkut dalam bentuk gas bumi, maka volumenya akan besar sekali. Namun, kalau diubah menjadi LNG, maka volumenya akan menjadi 1/600 dari volume gas bumi. Jadi hanya untuk memudahkan transportasi, maka gas bumi diubah menjadi LNG. Setelah tiba di tempat pengguna, LNG diubah kembali menjadi gas bumi sebelum dimanfaatkan.

Dengan adanya industri-industri pengguna gas bumi di sekitar PT Arun seperti PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), PT Asean Aceh Fertilizer (AAF), dan PT Kertas Kraft Aceh (KKA), berarti kita tetap memerlukan gas bumi. Dengan habisnya gas bumi dari sekitar Arun, yang dapat kita lakukan adalah mendatangkan LNG dari luar Arun, lalu mengubahnya menjadi gas bumi kembali dan itulah yang disebut dengan istilah regasifikasi LNG.

Alhamdulillah, rencana untuk mengubah kilang LNG Arun menjadi kilang regasifikasi LNG telah disetujui Pemerintah Pusat dan pelaksanaan proyek tersebut segera dimulai. Di samping regasifikasi, juga akan dilakukan pemasangan pipa gas dari Arun ke Medan, Sumatera Utara, untuk mengirim gas bumi kepada pelanggan di sana. Pertanyaannya, untuk kepentingan siapakah proyek ini? Bagaimana safety atau keamanan dari proyek ini? Dan, kapan proyek ini diharapkan selesai?

Menjawab pertanyaan pertama, jelas-jelas proyek ini adalah untuk kepentingan Aceh dan masyarakat Aceh. Karena itulah tokoh-tokoh Aceh baik yang ada di daerah maupun di Jakarta, sejak beberapa waktu lalu telah berupaya meyakinkan Pusat agar proyek ini bisa disetujui dibangun di Arun. Alhamdulillah, upaya-upaya itu telah menampakkan hasilnya setelah tokoh-tokoh Aceh tersebut bisa menghasilkan keputusan itu. Sekarang giliran tokoh-tokoh Aceh bersama masyarakatnya yang perlu mendukung demi lancarnya pelaksanaan proyek ini di lapangan. 

Dengan kebersamaan itu, proyek ini diharapkan bisa selesai tepat waktu atau pada kwartal ketiga 2014 mendatang, bertepatan dengan berakhirnya produksi kilang LNG Arun. Jika terlambat yang mengakibatkan kegagalan, berarti PT Arun akan mati sebelum sampai di pangkalan atau tikungan jalan, yang tentunya ekonomi masyarakat Aceh akan terkena dampak negatifnya. Sebaliknya, jika semua berjalan lancar dan selesai tepat waktu, maka PT Arun tidak masih bisa bernapas dan memberi harapan baru kepada kita. 

 Masih bisa bernapas
Meski demikian, dengan jalannya proyek regasifikasi tersebut, bukan berarti bahwa PT Arun akan segera kembali jaya sebagaimana era 1990-an dulu. Sebab, proses regasifikasi diperkirakan hanya mengembalikan Arun kepada angka 6% sebagaimana telah kita singgung di atas tadi. Dengan upaya ini, setidaknya, Arun masih bisa bernapas dan tidak jadi mati, sehingga akan bisa berlanjut dengan bisnis-bisnis lain.

Dengan selesainya proyek regasifikasi itu, beberapa bisnis lain bisa kita upayakan bersama di kilang Arun, misalnya sebagai terminal penerimaan dan penyaluran LPG untuk Aceh dan Sumatera Utara, sebagai pembangkit listrik tenaga gas yang bisa memenuhi kebutuhan listrik seluruh Aceh, sebagai kilang BBM yang bisa memproses minyak mentah dari Timur Tengah menjadi minyak jadi. Berbagai fasilitas produksi ini bisa semuanya dibangun di dalam pagar kilang Arun. 

Dengan berdirinya fasilitas-fasilitas tersebut di dalam kilang Arun, diharapkan bisa menyerap tenaga kerja yang banyak dan tentunya ekonomi masyarakat Aceh akan meningkat ke arah yang lebih baik. Seiring dengan itu pula, beberapa bisnis lain seperti hotel, restauran, dan tansportasi akan bertambah. Demikian juga kebutuhan terhadap rumah sakit dan klinik-klinik, termasuk Pasar Batuphat yang kini sepi, diharapkan bisa ramai kembali. 

Di samping itu, tentu Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT Arun yang bisa dipakai untuk membantu masyarakat sekitar, juga diharapkan akan semakin meningkat. Demikian pula soal keamanan jalur pipa bagi masyarakat sekitar, dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan jalur pipa ini dilakukan dengan standard internasional dan pipa tersebut ditanam 1,5 meter di bawah permukaan tanah. Pipa-pipa tersebut telah banyak dibangun di bawah dasar laut tanpa ada masalah. 

Karena itu, marilah seluruh komponen masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia bahu-membahu, membangun kesejahteraan ekonomi masyarakat kita melalui pemanfaatan aset-aset yang telah dibangun di Arun itu. Semoga!

* Iqbal Hasan Saleh, MSc, MBA, President Director PT Arun NGL, Lhokseumawe. Email: ihasan149@gmail.com

No comments:

Post a Comment